Privasi dan Etika Data dalam Big Data: Solusi Data Governance
- Mutiara Aisyah
- •
- 02 Feb 2025 05.55 WIB

Ilustrasi Privasi Data
Kita hidup di masa ketika data bukan lagi sekadar aset tambahan, melainkan bahan bakar utama ekonomi digital. Setiap aktivitas daring, mulai dari klik dan pencarian hingga pola konsumsi harian, diamati, dicatat, dan dianalisis. Semua ini membuka peluang luar biasa bagi organisasi untuk memahami pasar, merumuskan strategi, hingga memprediksi perilaku konsumen. Namun di tengah euforia ini, muncul pertanyaan besar tentang etika, privasi, dan tanggung jawab.
Bagaimana data dikumpulkan, dimanfaatkan, dan dijaga kini menjadi sorotan masyarakat luas dan regulator global. Muncul kekhawatiran terhadap praktik pengawasan yang tidak transparan, potensi penyalahgunaan data pribadi, serta ancaman diskriminasi berbasis algoritma. Dalam situasi ini, kehadiran data governance menjadi sangat penting. Bukan sekadar alat pengendali internal, melainkan pondasi strategis untuk membangun kepercayaan dan memastikan bahwa organisasi bergerak dalam koridor yang etis.
Etika dalam Pengelolaan Data, Di Mana Batasnya
Dalam ekosistem digital saat ini, inovasi sering kali berjalan lebih cepat daripada perlindungan hak individu. Banyak perusahaan memanfaatkan teknologi pengumpulan data yang tidak selalu jelas bagi penggunanya. Cookie pelacak, aplikasi yang meminta akses berlebihan, serta survei tersembunyi menjadi praktik umum yang luput dari perhatian konsumen. Ketidakjelasan ini menimbulkan rasa tidak aman dan dianggap mencederai etika.
Kita juga menyaksikan bagaimana konsep persetujuan yang diinformasikan seringkali tidak berjalan sebagaimana mestinya. Syarat dan ketentuan yang panjang dan rumit menjadi penghalang bagi pengguna untuk benar-benar memahami apa yang mereka setujui. Persetujuan berubah menjadi formalitas administratif, bukan bentuk kesadaran yang sungguh-sungguh.
Masalah lain yang semakin mencuat adalah potensi bias dalam sistem berbasis data. Algoritma rekrutmen, pemeringkatan kredit, hingga iklan digital terbukti bisa mengabaikan kelompok tertentu hanya karena data yang mereka pelajari mengandung bias historis. Ini menimbulkan pertanyaan penting tentang keadilan dan inklusi.
Di sisi lain, banyak organisasi menjadikan data pribadi sebagai komoditas. Informasi yang seharusnya bersifat pribadi dijual dan diperdagangkan demi keuntungan. Ketika nilai ekonomi data semakin tinggi, kita perlu mempertanyakan siapa sebenarnya pemilik data tersebut dan sejauh mana individu memiliki kendali atasnya.
Privasi dalam Arus Deras Data Digital
Di era big data, tantangan tidak hanya terletak pada volume data yang terus meningkat, tetapi juga pada kecepatannya dan ragam jenisnya. Data yang datang dalam bentuk teks bebas, gambar, suara, hingga metadata menjadikan pengelolaan privasi semakin kompleks. Sifat tak terstruktur dari sebagian besar data digital membuat proses perlindungan menjadi jauh lebih rumit.
Kita juga semakin sering menyaksikan insiden kebocoran data. Mulai dari skandal internasional hingga peretasan terhadap perusahaan lokal, semuanya menunjukkan bahwa perlindungan data masih jauh dari kata sempurna. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu yang datanya terekspos, tetapi juga oleh institusi yang kehilangan kepercayaan publik.
Kompleksitas bertambah ketika organisasi beroperasi di berbagai wilayah hukum. Regulasi privasi seperti GDPR di Eropa, CCPA di California, dan undang-undang lokal lainnya mewajibkan pendekatan yang sangat hati-hati dan adaptif. Menerapkan satu standar global yang mampu menjawab semua kebutuhan yurisdiksi menjadi tantangan yang belum mudah dijawab.
Data Governance sebagai Pilar Etika dan Privasi
Dalam lanskap yang kompleks ini, data governance bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Ia menjadi panduan menyeluruh untuk memastikan bahwa praktik pengelolaan data dilakukan secara transparan, akuntabel, dan konsisten dengan nilai-nilai organisasi.
Pertama, organisasi perlu menetapkan kebijakan yang jelas terkait siklus hidup data. Hal ini meliputi proses pengumpulan, penggunaan, penyimpanan, hingga penghapusan data. Transparansi menjadi prinsip utama agar semua pihak memahami bagaimana data diperlakukan.
Kedua, perlindungan privasi tidak bisa ditawar. Teknologi seperti enkripsi, anonimisasi, serta pengaturan akses yang ketat perlu diterapkan sebagai standar minimum dalam sistem informasi organisasi.
Ketiga, manajemen risiko menjadi bagian tak terpisahkan dari praktik data governance. Identifikasi dini terhadap potensi pelanggaran atau kesalahan, serta mekanisme audit dan evaluasi berkala, akan membantu organisasi mengantisipasi kerugian yang lebih besar.
Keempat, kepatuhan terhadap regulasi harus dibangun sejak awal. Tim hukum dan kepatuhan perlu bekerja erat dengan tim data dan teknologi untuk memastikan bahwa setiap kebijakan internal selaras dengan regulasi global.
Kelima, organisasi perlu membangun budaya etika data melalui pelatihan dan edukasi yang berkelanjutan. Setiap karyawan, terutama yang memiliki akses terhadap data strategis, harus memahami peran mereka dalam menjaga privasi dan keamanan informasi.
Menatap Masa Depan, Teknologi dan Etika Harus Berjalan Seiring
Kita mulai melihat adopsi pendekatan privasi sejak tahap desain. Ini menandakan pergeseran paradigma, di mana keamanan dan etika tidak lagi dianggap sebagai langkah tambahan, melainkan bagian dari desain sistem sejak awal. Teknologi seperti privasi diferensial membuka peluang untuk menganalisis data tanpa mengorbankan identitas individu.
Di waktu yang sama, kita juga melihat tren regulasi yang semakin menguat. Pemerintah dan regulator di berbagai negara mulai memahami pentingnya perlindungan data, dan ini akan menciptakan standar baru yang lebih ketat. Organisasi yang mampu beradaptasi cepat akan berada selangkah lebih maju dalam memenangkan kepercayaan publik.
Terakhir, kolaborasi global perlu ditingkatkan. Dunia digital tidak mengenal batas negara, dan begitu pula risiko privasi. Diperlukan kerja sama lintas sektor, lintas industri, dan lintas yurisdiksi untuk membentuk ekosistem data yang aman dan beretika secara kolektif.